Belajar adalah proses terstruktur tanpa henti. Syekh Ali Jum'ah pernah berkata bahwa rukun ilmu itu ada 5 : Murid, Guru, Buku, Manhaj, dan Lingkungan Ilmiah. Apa yang pembaca dapatkan dari blog ini bukanlah Ilmu melainkan MAKLUMAT. Kalau ingin ilmu, belajarlah pada Ulama ^_^

Kontroversi Tahlilan


Ini adalah jawaban dari Ustadz Muhammad Idrus Ramli yang dimuat dilaman Fanspage Facebook Ustadz Muhammad Idrus Ramli terhadap tulisan Ustadz Firanda di Websitenya mengenai Tahlilan.

Berikut ini mari kita simak catatan lengkap Ustadz Idrus Menjawab Menjawab Firanda Mengenai "Ustadz Idrus Ramli Menjawab Firanda Mengenai Tahlilan"

DIALOG DENGAN WAHABI ANTI TAHLILAN

Beberapa member FP, dari kaum Wahabi yang anti Tahlilan, menulis link ke situs Ustadz Wahabi, yaitu Dr Firanda Andirja, yang menulis bantahan tentang tradisi Tahlilan. Berikut ini jawaban kami terhadap artikel tersebut, secara singkat. Kami tulis dalam bentuk dialog agar mudah dipaham oleh pembaca.

WAHABI: “Sering kita dapati sebagian ustadz atau kiyai yang mengatakan, "Tahlilan kok dilarang?, tahlilan kan artinya Laa ilaah illallahh?". Tentunya tidak seorang muslimpun yang melarang tahlilan, bahkan yang melarang tahlilan adalah orang yang tidak diragukan kekafirannya. Akan tetapi yang dimaksud dengan istilah "Tahlilan" di sini adalah acara yang dikenal oleh masyarakat yaitu acara kumpul-kumpul di rumah kematian sambil makan-makan disertai mendoakan sang mayit agar dirahmati oleh Allah.
Lebih aneh lagi jika ada yang melarang tahlilan langsung dikatakan "Dasar wahabi"..!!!
Seakan-akan pelarangan melakukan acara tahlilan adalah bid'ah yang dicetus oleh kaum wahabi !!?”


SUNNI: “Kenyataan di lapangan, yang sangat ngotot memerangi Tahlilan adalah kaum Wahabi, bukan selain Wahabi. Terus mau apalagi?”

WAHABI: “Sementara para pelaku acara tahlilan mengaku-ngaku bahwa mereka bermadzhab syafi'i !!!. Ternyata para ulama besar dari madzhab Syafi'iyah telah mengingkari acara tahlilan, dan menganggap acara tersebut sebagai bid'ah yang mungkar, atau minimal bid'ah yang makruh. Kalau begitu para ulama syafi'yah seperti Al-Imam Asy-Syafii dan Al-Imam An-Nawawi dan yang lainnya adalah wahabi??!!”

SUNNI: “Sudah kami katakan berulang kali, bahwa para ulama Syafi’iyah hanya memakruhkan selamatan/kenduri kematian. Dan makruhnya masih makruh tanzih, bukan tahrim. Para ulama Salaf, dan madzahibul arba’ah (madzhab empat), tidak ada yang mengharamkan kenduri kematian dan Tahlilan. Jadi mereka sepakat tidak mengharamkan.

Imam al-Syafi’i dan Imam al-Nawawi, dengan pendapatnya tersebut bukan Wahabi. Beliau berdua sepakat membagi bid’ah menjadi dua, hasanah dan sayyi’ah, bertabaruk, bertawasul dan beristighatsah dan lain-lain yang dikafirkan dan disyirikkan oleh kaum Wahabi.

Anda perlu mempelajari teori bermadzhab. Agar mengerti hakikat bermadzhab, dan tidak dengan mudah menyalahkan orang karena tidak konsisten dalam bermadzhab. Sehingga tulisan Anda menjadi bahan tertawaan kalangan berilmu.”

WAHABI: “Ijmak Ulama bahwa Nabi, para sahabat, dan para imam madzhab tidak pernah tahlilan.

Tentu sangat tidak diragukan bahwa acara tahlilan –sebagaimana acara maulid Nabi dan bid'ah-bid'ah yang lainnya- tidaklah pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak juga para sahabatnya, tidak juga para tabi'in, dan bahkan tidak juga pernah dilakukan oleh 4 imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad rahimahumullah).”


SUNNI: “Anda mengatakan hal tersebut sebagai ijma’, pertanyaan kami, kitab apa yang menjadi dasar rujukan Anda??? Jelasnya, Nabi SAW, sahabat dan ulama Salaf telah berijma’ tidak mengharamkan kenduri kematian dan Tahlilan, bahkan sebagian menganjurkan sebagaimana kami tulis dalam catatan sebelumnya.”

WAHABI: “Istri Nabi SAW yang sangat beliau cintai Khodijah radhiallahu 'anhaa juga meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi sama sekali tidak beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja tidak beliau tahlilkan. Demikian juga kerabat-kerabat beliau yang beliau cintai meninggal di masa hidup beliau, seperti paman beliau Hamzah bin Abdil Muthholib, sepupu beliau Ja'far bin Abi Thoolib, dan juga sekian banyak sahabat-sahabat beliau yang meninggal di medan pertempuran, tidak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.”

SUNNI: “Anda selalu berdalil dengan teori tarku, Nabi SAW tidak mengerjakan ini dan itu. Sekarang kami bertanya kepada Anda, apakah Nabi SAW pernah melarang kenduri kematian dan Tahlilan, hari ke 3, 7, 40, 100, 1000??? Kalau Nabi SAW tidak melarang, bukankah larangan Anda juga termasuk bid’ah????”

WAHABI: “Sungguh indah perkataan Al-Imam Malik (gurunya Al-Imam Asy-Syaafi'i rahimahumallahu)

فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
"Maka perkara apa saja yang pada hari itu (pada hari disempurnakan Agama kepada Nabi, yaitu masa Nabi dan para sahabat-pen) bukan merupakan perkara agama maka pada hari ini juga bukan merupakan perkara agama.”(Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)”
SUNNI: “Lebih indah lagi adalah sabda Rasulullah SAW yang membenarkan bid’ah hasanah:
قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ ».
“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memulai dalam Islam perbuatan yang baik, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa terkurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai dalam Islam perbuatan yang buruk, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengerjakan sesudahnya tanpa terkurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka.” (HR Muslim).
Hadits di atas menjadi Dalil Bid’ah Hasanah, sebagaimana seringkali kami jelaskan dengan mengutip pernyataan al-Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.

Kalau Anda menggugat kami sebagai pengikut Imam al-Syafii, harus Anda ketahui bahwa Imam al-Syafii berkata:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩).
“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
Anda juga harus tahu, bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama yang paling Anda kagumi melebihi seluruh ulama salaf, para sahabat dan tabi’in, juga mengakui bid’ah hasanah, dan berkata :
وَمِنْ هُنَا يُعْرَفُ ضَلاَلُ مَنِ ابْتَدَعَ طَرِيْقًا أَوِ اعْتِقَادًا زَعَمَ أَنَّ اْلاِيْمَانَ لاَ يَتِمُّ اِلاَّ بِهِ مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّ الرَّسُوْلَ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَذْكُرْهُ، وَمَا خَالَفَ النُّصُوْصَ فَهُوَ بِدْعَةٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَمَا لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ خَالَفَهَا فَقَدْ لاَ يُسَمَّى بِدْعَةً، قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ البِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ خَالَفَتْ كِتَابًا وَسُنَّةً وَإِجْمَاعًا وَأَثَرًا عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَهَذِهِ بِدْعَةُ ضَلاَلَةٍ وَبِدْعَةٌ لَمْ تُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ قَدْ تَكُوْنُ حَسَنَةً لِقَوْلِ عُمَرَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ هَذَا الْكَلاَمُ أَوْ نَحْوُهُ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِاِسْنَادِهِ الصَّحِيْحِ فِي الْمَدْخَلِ. (الشيخ ابن تيمية، مجموع الفتاوى ۲٠/١٦٣).
“Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang membuat-buat cara atau keyakinan baru, dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak diketahui menyalahinya, terkadang tidak dinamakan bid’ah. Al-Imam al-Syafi’i RA berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama, bid’ah yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan atsar sebagian sahabat Rasulullah SAW. Ini disebut bid’ah dhalalah. Kedua, bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut. Ini terkadang disebut bid’ah hasanah, berdasarkan perkataan Umar, “Inilah sebaik-baik bid’ah”. Pernyataan al-Syafi’i ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal dengan sanad yang shahih.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, juz 20, hal. 163).
WAHABI: “Bagaimana bisa suatu perkara yang jangankan merupakan perkara agama, bahkan tidak dikenal sama sekali di zaman para sahabat, kemudian lantas sekarang menjadi bagian dari agama !!!”

SUNNI: “Guru-guru Anda kaum Wahabi telah sepakat dan berijma’ bolehnya menggelar hari nasional Kerajaan Saudi Arabia, dan menggelar acara Usbu’ Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab an-Najdi (pekan pendiri Wahabi), setiap tahun yang digelar di Riyadh. Tolong Anda tanyakan kepada guru-guru Anda yang masih hidup. Apa bedanya hal tersebut dengan Tahlilan, Maulid Nabi SAW, Haul dan lain-lain???””

WAHABI: “B. Yang Sunnah adalah meringankan beban keluarga mayat bukan malah memberatkan

Yang lebih tragis lagi acara tahlilan ini ternyata terasa berat bagi sebagian kaum muslimin yang rendah tingkat ekonominya. Yang seharusnya keluarga yang ditinggal mati dibantu, ternyata kenyataannya malah dibebani dengan acara yang berkepanjangan…biaya terus dikeluarkan untuk tahlilan…hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, hari ke-1000…

Tatkala datang kabar tentang meninggalnya Ja'far radhiallahu 'anhu maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :

اِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ
"Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far, karena sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukan mereka" (HR Abu Dawud no 3132
Al-Imam Asy-Syafi'I rahimahullah berkata :

وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ
"Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya untuk membuat makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang kematian Ja'far maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'afar, karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka" (Kitab Al-Umm 1/278)”
SUNNI: “Ada beberapa tanggapan terhadap pernyataan Anda di atas:
Pertama, Anda berarti tidak tahu kondisi riil di masyarakat. Umat Islam Indonesia, dalam kenduri kematian tidak meninggalkan Sunnah. Justru mereka telah melakukannya, dengan berbondong-bondong menyumbangkan beras, kebutuhan pokok dan uang untuk keluarga duka cita.

Kedua, Kesunnahan membantu keluarga duka cita, itu adalah mafhum, bukan manthuq, dari hadits di atas. Nah, karena hal tersebut bersifat mafhum, tentu adanya hukum sunnah dan makruh itu karena ada ‘illat, yaitu meringankan atau memberatkan keluarga duka cita. Ketika ‘illat tersebut hilang, maka hukumnya juga berubah, sebagai banyak sekali dikemukakan oleh para ulama, alhukmu yaduuru ma’a ‘illatihi wujuudan wa ‘adaman. Oleh karena itu, sebagian ulama Syafi’iyah berfatwa, bahwa ketika jamuan makanan itu hasil sumbangan dari tetangga atau kerabat jauh, maka hal tersebut tidak dihukumi makruh. Fahham ya duktuur Firanda Andirja. Oleh karena kutipan Anda dari kitab-kitab fiqih Syafi’iyah, tidak begitu penting untuk dibahas di sini, karena Anda tidak memahaminya dari perspektif ilmu fiqih.”

WAHABI: “Mereka yang masih bersikeras melaksanakan acara tahlilan mengaku bermadzhab syafi'iyah, akan tetapi ternyata para ulama syafi'iyah membid'ahkan acara tahlilan !!. Lantas madzhab syafi'iyah yang manakah yang mereka ikuti ??”

SUNNI: “Sebaiknya Anda mempelajari terlebih dahulu teori bermadzhab, dan mendalami kaitan agama, dakwah dan tradisi, agar Anda tidak bertanya seperti di atas, yang sama sekali tidak berbobot.”

WAHABI: “Kedua : Para ulama telah ijmak bahwasanya mendoakan mayat yang telah meninggal bermanfaat bagi sang mayat. Demikian pula para ulama telah berijmak bahwa sedekah atas nama sang mayat akan sampai pahalanya bagi sang mayat. Akan tetapi kesepakatan para ulama ini tidak bisa dijadikan dalil untuk melegalisasi acara tahlilan, karena meskipun mendoakan mayat disyari'atkan dan bersedakah (dengan memberi makanan) atas nama mayat disyari'atkan, akan tetapi kaifiyat (tata cara) tahlilan inilah yang bid'ah yang diada-adakan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya. Kreasi tata cara inilah yang diingkari oleh para ulama syafi'iyah, selain merupakan perkara yang muhdats juga bertentangan dengan nas (dalil) yang tegas.”

SUNNI: “Kreasi Tahlilan, yaitu bacaan campuran antara ayat al-Qur’an, shalawat, kalimah Thayyibah dan lain-lain, tidak pernah dibid’ahkan oleh ulama manapun, kecuali kaum Wahabi seperti Anda. Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah membenarkannya dan berkata dalam Majmu’ Fatawa-nya:
وَسُئِلَ: عَنْ رَجُلٍ يُنْكِرُ عَلَى أَهْلِ الذِّكْرِ يَقُولُ لَهُمْ : هَذَا الذِّكْرُ بِدْعَةٌ وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ بِدْعَةٌ وَهُمْ يَفْتَتِحُونَ بِالْقُرْآنِ وَيَخْتَتِمُونَ ثُمَّ يَدْعُونَ لِلْمُسْلِمِينَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَيَجْمَعُونَ التَّسْبِيحَ وَالتَّحْمِيدَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّكْبِيرَ وَالْحَوْقَلَةَ وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم" فَأَجَابَ : الِاجْتِمَاعُ لِذِكْرِ اللهِ وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ صَالِحٌ وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فِي الْأَوْقَاتِ فَفِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : ( إنَّ للهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ فَإِذَا مَرُّوا بِقَوْمِ يَذْكُرُونَ اللهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إلَى حَاجَتِكُمْ ) وَذَكَرَ الْحَدِيثَ وَفِيهِ ( وَجَدْنَاهُمْ يُسَبِّحُونَك وَيَحْمَدُونَك )... وَأَمَّا مُحَافَظَةُ الْإِنْسَانِ عَلَى أَوْرَادٍ لَهُ مِنْ الصَّلَاةِ أَوْ الْقِرَاءَةِ أَوْ الذِّكْرِ أَوْ الدُّعَاءِ طَرَفَيْ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنْ اللَّيْلِ وَغَيْرُ ذَلِكَ : فَهَذَا سُنَّةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِ اللهِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا. (مجموع فتاوى ابن تيمية، ٢٢/٥٢٠).
“Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian ini bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah”. Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaa billaah) dan shalawat kepada Nabi SAW.?” Lalu Ibn Taimiyah menjawab: “Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil, “Silahkan sampaikan hajat kalian”, lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu”… Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah SAW dan hamba-hamba Allah yang saleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22, hal. 520).”
WAHABI: “Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu : "Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah". Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih"

SUNNI: “Pernyataan Jarir bin Abdullah, bukan kesepakatan semua sahabat, terbukti dengan atsar dari Khalifah Umar dan Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana kami paparkan sebelumnya. Silahkan Anda mengikuti Jarir, dan biarkan umat Islam mengikuti atsar Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum.”

WAHABI: “Demikian juga bahwasanya membaca ayat al-kursiy bisa mengusir syaitan, akan tetapi jika ada seseorang lantas setiap kali keluar dari masjid selalu membaca ayat al-kursiy dengan dalih untuk mengusir syaitan karena di luar masjid banyak syaitan, maka kita katakan hal ini adalah bid'ah. Kenapa?, karena kaifiyyah dan tata cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.”

SUNNI: “Pernyataan Anda telah ditolak oleh guru kaum Wahabi, yaitu Syaikh Ibnu Baz yang berfatwa, menganjurkan membaca surah al-Ikhlash dan Mu’awwidzatain setiap selesai shalat secara rutin, dan setiap selesai shalat shubuh dan maghrib tiga kali secara rutin. Demikian ini dianjurkan untuk menolak sihir dan aneka keburukan. Hal tersebut juga tidak ada dasar seperti yang Anda gugatkan kepada kami Ustadz Firanda. Silahkan Anda baca dalam, Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, karya Syaikh Ibnu Baz, juz 8, hal. 115, dan juz 8 hal. 88. Fatwa tersebut juga banyak disampaikan dalam fatwa-fatwa dan rosail beliau.”

WAHABI: “Ketiga : Kalau kita boleh menganalogikan lebih jauh maka bisa kita katakan bahwasanya orang yang nekat untuk mengadakan tahlilan dengan alasan untuk mendoakan mayat dan menyedekahkan makanan, kondisinya sama seperti orang yang nekat sholat sunnah di waktu-waktu terlarang. Meskipun ibadah sholat sangat dicintai oleh Allah, akan tetapi Allah telah melarang melaksanakan sholat pada waktu-waktu terlarang.”

SUNNI: “Qiyas Anda sungguh Qiyas yang bathil. Menyamakan shalat dengan Tahlilan. Anda gugat saja guru-guru Anda, kaum Wahabi yang telah berijma’ membolehkan menggelar syukuran hari raya Nasional Kerajaan Saudi Arabia dan Pekan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab setiap tahun. Anda gugat dengan cara Qiyas Anda di atas, pasti mereka akan menertawakan Anda karena Qiyas Anda tidak nyambung.”

WAHABI: “Keempat : Untuk berbuat baik kepada sang mayat maka kita bisa menempuh cara-cara yang disyari'atkan, sebagaimana telah lalu. Diantaranya adalah mendoakannya kapan saja –tanpa harus acara khusus tahlilan-, dan juga bersedakah kapan saja, berkurban atas nama mayat, menghajikan dan mengumrohkan sang mayat, dll.”

SUNNI: “Anda melarang doa selama 7 hari, padahal ada atsar dari Thawus, ‘Ubaid bin ‘Umair dan Mujahid. Berarti menurut Anda, Tahlilan itu boleh selama tidak dibatasi dengan hari-hari tertentu seperti 3, 7, 40, 100 dan 1000??? Mana dalil khusus yang menerangkan hal ini????

WAHABI: “Adapun mengirimkan pahala bacaan Al-Qur'an maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Dan pendapat yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah bahwasanya mengirimkan pahala bacaan al-Qur'an tidak akan sampai bagi sang mayat.”

SUNNI: “Kalau pengiriman pahala bacaan al-Qur’an masih diperselisihkan oleh ulama, mengapa Anda mempersoalkan???? Ini kan masalah khilafiyah klasik. Bukankah dalam kaedah fiqih terdapat kaedah, laa yunkarul mukhtalafu fiih wainnamaa yunkarul mujma’u ‘alaih (tidak perlu mengingkari persoalan khilafiyah, akan tetapi yang perlu diingkari adalah persoalan yang disepakati oleh seluruh ulama). Ini kaedah dalam madzhab Syafii. Seandainya Imam al-Syafii, masih hidup pasti akan menegur Anda, yang membesarkan persoalan khilafiyah.”

WAHABI: “Kelima : Kalaupun kita memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengirim bacaan al-qur'an akan sampai kepada mayat, maka kita berusaha agar kita atau keluarga yang mengirimkannya, ataupun orang lain adalah orang-orang yang amanah.”

SUNNI: “Ini ijtihad Anda sendiri, tidak ada ulama yang memberikan persyaratan yang mengirim pahala al-Qur’an itu harus orang yang amanah. Anda mengqiyaskan hal ini dengan tukang wesel pos atau pengantar surat. Qiyas macam apa ini wahai duktur Firanda?”

WAHABI: “Adapun menyewa para pembaca al-Qur'an yang sudah siap siaga di pekuburan menanti kedatangan para peziarah kuburan untuk membacakan al-quran dan mengirim pahalanya maka hendaknya dihindari karena :

- Tidak disyari'atkan membaca al-Qur'an di kuburan, karena kuburan bukanlah tempat ibadah sholat dan membaca al-Qur'an.”


SUNNI: “Pernyataan Anda sangat lucu, dan membuktikan bahwa Anda kurang banyak membaca kitab-kitab para ulama, termasuk para ulama panutan Wahabi yang menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan. Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah, murid terkemuka Ibnu Taimiyah, panutan kaum Wahabi berkata:
وَقَدْ ذُكِرَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ أَنَّهُمْ أَوْصَوْا أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَقْتَ الدَّفْنِ قَالَ عَبْدُ الْحَقِّ يُرْوَى أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ أَمَرَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قَبْرِهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَمِمَّنْ رَأَى ذَلِكَ الْمُعَلَّى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ الْخَلاَّلُ وَأَخْبَرَنِيْ الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ حَدَّثَنِىْ عَلِى بْنِ مُوْسَى الْحَدَّادُ وَكَانَ صَدُوْقاً قَالَ كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَمُحَمَّد بْنِ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِىِّ فِيْ جَنَازَةٍ فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ يَا هَذَا إِنَّ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنِ قُدَامَةَ لأَحْمَدِ بْنِ حَنْبَلٍ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِيْ مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيِّ قَالَ ثِقَةٌ قَالَ كَتَبْتَ عَنْهُ شَيْئًا قَالَ نَعَمْ فَأَخْبَرَنِيْ مُبَشِّرٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْعَلاَءِ اللَّجْلاَجِ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا وَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوْصِيْ بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ فَارْجِعْ وَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ. وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَاحِ الزَّعْفَرَانِيُّ سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ الْقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ كَانَتِ اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ. (ابن قيم الجوزية، الروح، ص/١٨٦-١٨٧).
“Telah disebutkan dari sekelompok ulama salaf, bahwa mereka berwasiat agar dibacakan al-Qur’an di sisi makam mereka ketika pemakaman. Imam Abdul Haqq berkata, diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa beliau berwasiat agar dibacakan surat al-Baqarah di sisi makamnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman. Al-Khallal berkata, “al-Hasan bin Ahmad al-Warraq mengabarkan kepadaku, “Ali bin Musa al-Haddad mengabarkan kepadaku, dan dia seorang yang dipercaya. Ia berkata, “Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari, ketika mengantar jenazah. Setelah mayit dimakamkan, seorang laki-laki tuna netra membaca al-Qur’an di samping makam itu. Lalu Ahmad berkata kepadanya, “Hai laki-laki, sesungguhnya membaca al-Qur’an di samping makam itu bid’ah.” Setelah kami keluar dari makam, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal, “Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapat Anda tentang Mubasysyir al-Halabi?” Ia menjawab, “Dia perawi yang tsiqah (dapat dipercaya)”. Muhammad bin Qudamah berkata, “Anda menulis riwayat darinya?” Ahmad menjawab, “Ya.” Muhammad bin Qudamah berkata, “Mubasysyir mengabarkan kepadaku, dari Abdurrahman bin al-‘Ala’ al-Lajlaj, dari ayahnya, bahwasanya ia berwasiat, apabila ia dimakamkan, agar dibacakan permulaan dan penutup surat al-Baqarah di sebelah kepalanya. Ia berkata, “Aku mendengar Ibn Umar berwasiat demikian.” Lalu Ahmad berkata kepada Muhammad bin Qudamah, “Kembalilah, dan katakan kepada laki-laki tadi, agar membaca al-Qur’an di samping makam itu.” Al-Hasan bin al-Shabah al-Za’farani berkata, “Aku bertanya kepada al-Syafi’i tentang membaca al-Qur’an di samping kuburan, lalu ia menjawab, tidak apa-apa.” Al-Khallal meriwayatkan dari al-Sya’bi yang berkata, “Kaum Anshar apabila keluarga mereka ada yang meninggal, maka mereka selalu mendatangi makamnya untuk membacakan al-Qur’an di sampingnya.” (Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Ruh, hal. 186-187).
WAHABI: “Jika ternyata terjadi tawar menawar harga dengan para tukang baca tersebut, maka hal ini merupakan indikasi akan ketidak ikhlasan para pembaca tersebut. Dan jika keikhlasan mereka dalam membaca al-qur'an sangat-sangat diragukan, maka kelazimannya pahala mereka juga sangatlah diragukan. Jika pahalanya diragukan lantas apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat??!!”

SUNNI: “Anda tidak berhak mengurus hati orang lain. Itu urusan dia dengan Allah.”

WAHABI: “Para pembaca sewaan tersebut biasanya membaca al-Qur'an dengan sangat cepat karena mengejar dan memburu korban penziarah berikutnya. Jika bacaan mereka terlalu cepat tanpa memperhatikan tajwid, apalagi merenungkan maknanya, maka tentu pahala yang diharapkan sangatlah minim. Terus apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat ??!!”

SUNNI: “Owh berarti Anda juga membenarkan menyewa orang membaca al-Qur’an di kuburan, asal dia fasih membacanya dan sesuai dengan Tajwid. Kan begitu. Terima kasih kalau pendapat Anda begitu. Tetapi mengapa Anda sangat marah dengan baca al-Qur’an di kuburan???? Terakhir, kami akan memberi hadiah kepada Anda, pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri aliran jahat Wahabi, yang menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan, dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut, terbitan Saudi Arabia,
وَأَخْرَجَ سَعْدٌ الزَّنْجَانِيُّ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَأَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، ثُمَّ قَالَ: إِنِّيْ جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ لأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى. وَأَخْرَجَ عَبْدُ الْعَزِيْزِ صَاحِبُ الْخَلاَّلِ بِسَنَدِهِ عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ، فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس، خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ، وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَناَتٌ. (الشيخ محمد بن عبد الوهاب النجدي، أحكام تمني الموت (ص/٧٥).
“Sa’ad al-Zanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah secara marfu’: “Barangsiapa mendatangi kuburan lalu membaca surah al-Fatihah, Qul huwallahu ahad dan alhakumuttakatsur, kemudian mengatakan: “Ya Allah, aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum beriman laki-laki dan perempuan di kuburan ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya kepada Allah.” Abdul Aziz –murid al-Imam al-Khallal–, meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Anas bin Malik secara marfu’: “Barangsiapa mendatangi kuburan, lalu membaca surah Yasin, maka Allah akan meringankan siksaan mereka, dan ia akan memperoleh pahala sebanyak orang-orang yang ada di kuburan itu.” (Muhammad bin Abdul Wahhab, Ahkam Tamanni al-Maut, hal. 75).
Ustadz Firanda, kitab Ahkam Tamannil Maut tersebut, diterbitkan pemerintahan Saudi Arabia, dan ditahqiq oleh dua ulama Wahabi senior, yaitu Abdurrahman bin Muhammad al-Sadhan dan Abdullah bin Jibrin.
Wallahu a’lam.
0 Comments
Tweets
Komentar

Tahnik Bayi




Di antara sunnah Nabi SAW adalah mentahnik bayi yang baru dilahirkan. Tahnik adalah mengusap mulut bayi bagian atas dengan kurma yang telah dilembutkan. Tahnik dianjurkan berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Burdah dari Abu Musa Al-Asy’ari bahwa beliau berkata: “Ketika putraku dilahirkan, aku membawanya kepada Rasulullah SAW, beliau memberinya nama Ibrahim, mentahniknya dengan kurma, mendoakan keberkahan baginya lalu mengembalikannya kepadaku.” (HR. Bukhari-Muslim)

Siapapun diperbolehkan mentahnik bayi, baik laki-laki maupun perempuan, berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau dahulu biasa disodori bayi-bayi yang baru dilahirkan lalu beliau mendoakan keberkahan untuk mereka dan mentahnik mereka. (HR. Muslim)

Imam Ahmad bin Hambal juga pernah disodori seorang bayi lalu beliau memerintahkan seorang wanita untuk mentahniknya. (lihat: Tuhfatul Maulud karangan Ibnul Qoyyim hal. 9)

Disunnahkan mentahnik dengan kurma yang telah dilembutkan berdasarkan hadits-hadits shahih. Namun jika tidak ada kurma, tidak apa-apa mentahnik dengan makanan-makanan yang manis seperti madu. Sebaiknya dihindari makanan yang pernah tersentuh api seperti dibakar, digoreng, dsb. (lihat: al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah: 10/227)

Tahnik sebaiknya dilakukan pada hari ketika bayi dilahirkan berdasarkan bunyi hadits yang ada. Namun tidak apa-apa mentahnik setelah hari kelahirannya. (lihat: Fathul Bari: 9/588, 7/249)

Wallahu a’lamu bish showab.

Sumber : http://forum-diskusi-hadits.blogspot.com/2012/07/tahnik-bayi.html


0 Comments
Tweets
Komentar

Salafus Sholeh Bertabarruk dengan Nabi Muhammad





Dalam "Musnad Ahmad" (5/422) disebutkan dari Daud bin Abi Shalih ia berkata:

"Suatu hari Marwan mendapati seorang lelaki menempelkan wajahnya pada kuburan. Marwan bertanya pada lelaki itu, "Tahukah apa yang sedang kamu perbuat itu?" lelaki itu menoleh dan ternyata ia adalah Abu Ayyub lalu menjawab, "Ya, aku sedang mendatangi Rasulullah SAW dan bukan sedang mendatangi batu ini. Aku mendengar Rasulullah SAW pernah bersabda: Janganlah kamu tangisi agama ini selama masih ditangani oleh para ahlinya. Tapi tangisilah ia apabila ia ditangani oleh yang bukan ahlinya."

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim (4/560) lalu ia berkata, "Hadits ini shahih sanadnya dan belum dimuat oleh Bukhari dan Muslim." Adz-Dzahabi menambahkan dalam Talkhishnya, "Shahih."



Fathimah Mengambil Segenggam Tanah Makam Nabi SAW

Ibnu Asakir dalam "Tuhfah" meriwayatkan bahwa Fathimah pernah mendatangi kuburan Nabi SAW lalu mengambil segenggam tanah kuburan tersebut dan meltakkannya pada kedua matanya sambil menangis.

Kisah ini disebutkan juga oleh Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" (2/213), As-Samhudi dalam "Wafaul Wafa" (2/444), Al-Qasthallani dalam "Irsyadus Sari" (2/390), Ar-Rahibani dalam "Mathalib Ulin Nuha" (1/926) dan Ali Al-Qari dalam "Mirqatul Mafatih" (11/108).


Bilal Mengusapkan Wajahnya di kuburan Nabi SAW

Dalam "Tarikh Dimasyq" karangan Ibnu Asakir disebutkan bahwa Bilal pernah bermimpi bertemu Nabi SAW. Dalam mimpi tersebut Nabi SAW bersabda, "Kekeringan apa yang telah melandamu ini wahai Bilal? Bilakah datang waktumu untuk mengunjungiku?" lalu Bilal tersadar dalam keadaan sedih. Setelah itu ia menaiki kendaraannya menuju Madinah, mendatangi kuburan Nabi SAW lalu menangis di situ sambil mengusapkan wajahnya pada kuburan Nabi SAW.

Lalu datanglah Al-Hasan dan Al-Husain kemudian mereka berdua memeluknya dan menciumnya lalu berkata, "Wahai Bilal, kami rindu mendengarkan adzanmu." Bilal pun memenuhi permintaan mereka berdua, ia lalu mengumandangkan adzan dari atas atap. Ketika terdengar lantunan suaranya mengucapkan "Allahu Akbar Allahu Akbar" kota Madinah bergetar, ketika ia mengumandangan syahadat bertambah lagi goncangannya, hingga ketika ia meneriakkan "Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah" para penduduk Madinah keluar dari rumah-rumah mereka sambil berkata, "Apakah Rasulullah hidup kembali?" Sungguh tiada hari yang paling banyak tangisan laki-laki dan perempuan di Madinah semenjak wafatnya Rasulullah SAW melebihi hari itu."

As-Subki berkata dalam "Syifaus Siqam" hal. 39, "Kami telah meriwayatkan kisah itu dengan sanad yang bagus dan tidak perlu lagi meneliti dua sanad yang telah disebutkan oleh Ibnu Asakir itu meskipun para perawinya sudah sangat populer dan terkenal."

Kisah ini juga disebutkan oleh Ibnul Atsir dalam "Usdul Ghabah" (1/208) As-Samhudi dalam "Wafaul Wafa" (2/408) lalu ia berkata, "Sanadnya bagus." Asy-Syaukani berkata dalam "Nailul Authar" (3/105), "Telah diriwayatkan perkara ziarah ke makam Nabi SAW ini dari sejumlah sahabat di antaranya adalah Bilal sebagaimana dalam riwayat Ibnu Asakir, dengan sanad yang bagus."

Dalam kitab "Al-'Ilal wa Ma'rifatur Rijaal" (2/492), disebutkan bahwa Abdullah pernah bertanya kepada ayahnya, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, tentang seseorang yang mengusap mimbar Nabi SAW dan mengalap berkah dengan usapan tersebut serta menciumnya, begitu juga dengan kuburan dengan niat bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT? Imam Ahmad menjawab: "Tidak apa-apa." Dalam kitab "Wafaul Wafa" (4/1414) juga disebutkan seperti itu.

Imam Dzahabi berkata dalam "Mu'jam Syuyukh"nya halaman 55: "Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar tidak suka mengusap kuburan Nabi SAW. Saya (Dzahabi) berkata: ia tidak suka dengan hal itu karena menganggapnya sebagai tindakan yang kurang sopan. Imam Ahmad pernah ditanya tentang mengusap dan mencium kuburan Nabi SAW dan beliau tidak mempermasalahkannya. Kabar ini diriwayatkan oleh anaknya sendiri yaitu Abdullah bin Ahmad. Kalau ada yang bertanya: mengapa hal itu tidak dilakukan oleh para sahabat? Maka jawabannya adalah: sebab mereka dahulu sudah sering bertemu langsung dengan beliau sehingga sudah cukup puas dengan hal itu, mereka mencium tangan beliau bahkan hampir saja mereka berkelahi karena berebut air bekas wudhu Nabi SAW. Mereka pun membagi-bagi rambut beliau yang suci di waktu Haji Akbar. Apabila beliau meludah, hampir saja air ludah beliau tidak sampai di tanah karena telah ditadahi oleh tangan sahabatnya lalu air ludah itu diusap-usapkan di wajahnya. Adapun kita yang tidak mendapatkan jatah yang sedemikian besar itu, kita hanya bisa berebut menggapai kuburannya dengan cara beriltizam (menempelkan), tabjil (mengagungkan), istilam (mengusap) dan taqbil (menciumnya). Tidakkah anda lihat bagaimana yang dahulu dilakukan oleh Tsabit Al-Bunani? Beliau mencium tangan Anas bin Malik dan meletakkannya di wajahnya sambil berkata: Ini adalah tangan yang pernah menyentuh tangan Rasulullah SAW."

As-Sindi dalam Syarh Sunan Nasai (1/222) berkata setelah menyebutkan hadits tentang shalat Nabi SAW di Thur Sina: "Ini merupakan dalil yang kuat dalam masalah mencari jejak orang-orang shalih, bertabarruk dengannya dan beribadah di situ."

An-Nasai meriwayatkan (5/248) dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW pernah menunjuk sebuah tempat yang di situ ada sebatang pohon besar lalu beliau bersabda, "Di bawah pohon besar itu telah dilahirkan 70 nabi." Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad (2/238), Malik (1/423) dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban (14/137).

Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya "At-Tamhid" (13/64-66) begitu juga dalam "Al-Istidzkar" (4/406) berkata: "Hadits ini menjadi dalil tentang tabarruk dengan jejak para nabi dan orang-orang shalih."

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam "Fathul Baari" (1/571) berkata: "Dalam riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf bahwa Nabi SAW pernah shalat di lembah Ar-Rauha lalu beliau bersabda: Di tempat ini dahulu shalat 70 nabi."

Ibnu Hajar kemudian berkomentar, "Dapat dipahami dari perbuatan Ibnu Umar ini (dalil) dianjurkannya mencari jejak Nabi SAW dan bertabarruk dengannya."

Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa Asma' mengambil jubbah yang dahulu dipakai oleh Rasulullah SAW kemudian mencucinya dan berkata, "Kami mencucinya untuk orang-orang sakit supaya diberi kesembuhan dengan jubbah itu."

Sumber : http://www.facebook.com/groups/forum.diskusi.hadits/permalink/508920099126822
0 Comments
Tweets
Komentar

Hadits Shahih tentang Keutamaan Surat Yasin



Pertanyaan:

Benarkah ada hadis shahih tentang keutamaan surat yasin?

Jawaban:

Pertama: "Barangsiapa membaca (surat) Yasin pada malam hari dengan mengharap keridoan Allah, ia akan diampuni (dosanya)."

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam "Shahih"nya, Ibnus Sunni dalam "Amalul Yaumi wal Lailah", Al Baihaqi dalam "Syuabul Iman" dan lain-lain.

Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya tentang hadits ini, "Sanadnya bagus."

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya "Nataijul Afkar fi Takhriji Ahaditsil Adzkar" berkata tentang hadits tersebut:

هذا حديث حسن

"Ini adalah hadits hasan."

Imam Suyuthi mengatakan tentang hadits ini:

هذا إسناد على شرط الصحيح

"Ini adalah sanad yang sesuai standar shahih." (Sumber: Kitab "Al-La'ali Al-Mashnu'ah" karya Imam Suyuthi)

Imam Syaukani berkata:

حديث من قرأ يس ابتغاء وجه الله غفر له رواه البيهقي عن أبي هريرة مرفوعا وإسناده على شرط الصحيح وأخرجه أبو نعيم وأخرجه الخطيب فلا وجه لذكره في كتب الموضوعات

"Hadits: Barangsiapa membaca Yasin dengan mengharap ridho Allah, ia akan diampuni. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Abu Hurairah secara marfu' dan sanadnya sesuai standar Shahih. Diriwayatkan juga oleh Abu Nu'aim dan Al-Khathib. Maka, tidak ada alasan memasukkan hadits tersebut ke dalam kitab hadits-hadits maudhu' (palsu)."

(Sumber: Al-Fawaid Al-Majmu'ah karya Imam Syaukani 1/303 Bab Fadhlul Qur'an, Maktabah Syamilah)


Kedua: "Bacakanlah surat Yasin atas orang yang hampir mati di antara kamu." Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. (Bulughul Maram karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani)

Imam Syaukani berkata dalam "Al-Fathur Rabbani" tentang hadits tersebut:

والتنصيص على هذه السورة إنما هو لمزيد فضلها وشرفها

"Disebutkannya nama surat tersebut hanya dikarenakan oleh adanya keutamaan dan kemuliaan yang lebih padanya."

Apakah itu mencakup orang yg hampir mati saja ato termasuk yg sudah mati?

Dalam At-Taysiir, Al-Munawi berkata:

وفي رواية ذكرها ابن القيم عند ( موتاكم ) أي من حضره الموت من المسلمين لأنّ الميت لا يقرأ عليه

"..dalam riwayat yang disebutkan Ibnul Qayyim: yang dimaksud "mautakum" adalah muslim yang akan meninggal dunia, karena mayyit tidak perlu lagi dibacakan."

Kemudian beliau mengatakan:

أو المراد اقرؤها عليه بعد موته والأولى الجمع

"Atau bisa juga maksudnya adalah bacakanlah setelah kematiannya. Yang paling utama adalah digabungkan."

Berarti dibaca sebelum dan setelah meninggal. Wallahu a'lam.

قال ابن القيم وخص يس لما فيها من التوحيد والمعاد والبشرى بالجنة لأهل التوحيد وغبطة من مات عليه لقوله يا ليت قومي يعلمون

Ibnul Qayyim mengatakan, "Dikhususkannya Yasin karena di dalamnya terkandung ajaran tauhid, tempat kembali, berita gembira tentang surga untuk ahli tauhid dan kegembiraan orang yang meninggal di atas tauhid karena firman-Nya, "Seandainya kaumku mengetahui..." (At-Taysiir 1/390)

Sumber : http://forum-diskusi-hadits.blogspot.com/2012/06/hadits-shahih-tentang-keutamaan-surat.html
0 Comments
Tweets
Komentar

IMAM SYAUKANI DAN TAHLILAN (YASINAN)



Syaikh Muhammad bin Ali asy-Syaukani (1173-1250 H / 1759-1834 M) adalah salah satu ulama besar di Yaman yang ahli fikih, hadis dan tafsir. Beliau termasuk ulama yang anti taklid dan menyeru pada ijtihad. Kendati seperti itu beliau memberi fatwa yang menjawab tradisi sosial seperti yang terjadi di Indonesia yakni Tahlilan, baik rangkaian berkumpulnya, ngaji Yasin bersama, menghadiahkan kepada orang yang wafat, dan sebagainya. Berikut kutipan lengkapnya:

الْعَادَةُ الْجَارِيَةُ فِي بَعْضِ الْبُلْدَانِ مِنَ اْلاِجْتِمَاعِ فِي الْمَسْجِدِ لِتِلاَوَةِ الْقُرْآنِ عَلَى اْلأَمْوَاتِ وَكَذَلِكَ فِي الْبُيُوْتِ وَسَائِرِ اْلاِجْتِمَاعَاتِ الَّتِي لَمْ تَرِدْ فِي الشَّرِيْعَةِ لاَ شَكَّ إِنْ كَانَتْ خَالِيَةُ عَنْ مَعْصِيَةٍ سَالِمَةً مِنَ الْمُنْكَرَاتِ فَهِيَ جَائِزَةٌ ِلأَنَّ اْلاِجْتِمَاعَ لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ بِنَفْسِهِ لاَ سِيَّمَا إِذَا كَانَ لِتَحْصِيْلِ طَاعَةٍ كَالتِّلاَوَةِ وَنَحْوِهَا وَلاَ يُقْدَحُ فِي َذَلِكَ كَوْنُ تِلْكَ التِّلاَوَةِ مَجْعُوْلَةً لِلْمَيِّتِ فَقَدْ وَرَدَ جِنْسُ التِّلاَوَةِ مِنَ الْجَمَاعَةِ الْمُجْتَمِعِيْنَ كَمَا فِي حَدِيْثِ اقْرَأُوْا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ وَهُوَ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ وَلاَ فَرْقَ بَيْنَ تِلاَوَةِ يس مِنَ الْجَمَاعَةِ الْحَاضِرِيْنَ عِنْدَ الْمَيِّتِ أَوْ عَلَى قَبْرِهِ وَبَيْنَ تِلاَوَةِ جَمِيْعِ الْقُرْآنِ أَوْ بَعْضِهِ لِمَيِّتٍ فِي مَسْجِدِهِ أَوْ بَيْتِهِ اهـ

(الرسائل السلفية للشيخ علي بن محمد الشوكاني ص : 46(

"Tradisi yang berlaku di sebagian negara dengan berkumpul di masjid untuk membaca al-Quran dan dihadiahkan kepada orang-orang yang telah meninggal, begitu pula perkumpulan di rumah-rumah, maupun perkumpulan lainnya yang tidak ada dalam syariah, tidak diragukan lagi apabila perkumpulan tersebut tidak mengandung maksiat dan kemungkaran, hukumnya adalah boleh. Sebab pada dasarnya perkumpulannya sendiri tidak diharamkan, apalagi dilakukan untuk ibadah seperti membaca al-Quran dan sebagainya. Dan tidaklah dilarang menjadikan bacaan al-Quran itu untuk orang yang meninggal. Sebab membaca al-Quran secara berjamaah ada dasarnya seperti dalam hadis: Bacalah Yasin pada orang-orang yang meninggal. Ini adalah hadis sahih. Dan tidak ada bedanya antara membaca Yasin berjamaah di depan mayit atau di kuburannya, membaca seluruh al-Quran atau sebagiannya, untuk mayit di masjid atau di rumahnya" (Ar-Rasail al-Salafiyah, Syaikh Ali bin Muhammad as Syaukani, 46)

Link kitab: http://majles.alukah.net/showthread.php?19817-الرسائل-السلفية-في-أحياء-سنة-خير-البرية-للشوكاني-pdf

Download:
http://www.archive.org/details/Rasa2el-Shawkany

http://www.waqfeya.com/book.php?bid=837

Sumber : https://www.facebook.com/groups/forum.diskusi.hadits/permalink/557930614225770/
0 Comments
Tweets
Komentar

Hukum Atirah - Sembelihan di Bulan Rajab



Defenisi Atirah
Atirah adalah sembelihan yang dahulunya dilakukan oleh kaum arab saat  jahiliyah serta pada awal Islam pada setiap tanggal 10 bulan Rajab. Atirah juga dinamakan dengan Rajabiyyah.

Dahulu, orang arab melakukan sembelihan pada setiap bulan Rajab yang dinamakan dengan Atirah atau Rajabiyyah.  Amalan ini tetap berlangsung hingga awal kedatangan Islam dan tetap diamalkan oleh orang Islam sebagaimana Hadits Riwayat At-Tirmidzi “Bagi setiap penghuni rumah (penduduk) boleh melakukan sembelihan dan Atirah“.

Hukum Atirah
Fuqaha’ berbeda pendapat tentang status nasakh atau tidaknya hukum Atirah ini. Jumhur ulama dari mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali mengatakan bahwa tuntutan untuk melaksanakan Atirah telah di-nasakh-kan oleh sabda Nabi “Tidak ada Fara’ dan tidak ada pula Atirah“ (HR.Muslim). Sedangkan mazhab Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada pe-nasakh-an dalam hukum Atirah, bahkan mereka berkata bahwa Atirah tetap dihukumi sunnah. Pendapat ini juga dikatakan oleh Ibn Sirin.

Al-Hafizh Ibn Hajar berkata dalam Fathul Bari “Pendapat Mazhab Syafi’i tersebut dikuatkan oleh Hadits yang dikeluarkan oleh Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibn Majah serta dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibn Munzir dari Nubaisyah al-Hudzali ia berkata: “Seorang Laki-laki memanggil Rasulullah lalu ia bertanya “Sesungguhnya kami melakukan sembelihan Atirah ketika masa jahiliyah kami setiap bulan Rajab. Lalu sekarang apa yang kamu perintahkan pada kami  ? Rasulullah menjawab : Sembelihlah olehmu karena Allah di setiap bulan apapun, berbuat baiklah karena Allah dan beri makanlah (dari sembelihan tersebut) juga karena Allah.” Ibn Mundzir berkata tentang status hadits : “Hadits ini shahih”

Al-Hafizh Ibn Hajar melanjutkan : Disini jelas bahwa Rasulullah tidak membatalkan Atirah secara keseluruhan. Namun yang beliau batalkan adalah pengkhususan penyembelihan di bulan Rajab. Diriwayatkan oleh imam An-Nasa’i, Al-Baihaqi dalam Sunan Kubranya, serta Imam Ahmad dan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya dan ia shahihkan juga, serta disepakati tentang keshahihannya oleh Imam Dzahabi dalam At-Talkhisnya, serta Imam Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, dari Harits bin Amru, ia berkata “Aku datang pada Rasulullah di Arafah (sebagian riwayat lagi di Mina) dan aku lihat seorang laki-laki bertanya pada Beliau tentang Atirah, maka Rasulullah menjawab “Siapa yang ingin melakukan Atirah silahkan, dan yang tidak juga silahkan. Serta siapa yang ingin melakukan Fara’ silahkan dan yang tidak juga silahkan

Dan dari Abi Razban, ia berkata “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami pada masa jahiliyah melakukan sembelihan di bulan Rajab lalu kami makan dari sembelihan tersebut dan kami beri makan orang lain dari daging tersebut. Maka Rasulullah menjawab : tidak apa-apa” (HR. An-Nasa’i)

Dalam Sunan Abu Daud, An-Nasa’i, Ibn Majah dari Mikhnaf bin Sulaim Al-Ghamidi, ia berkata  “Suatu hari kami sedang wuquf di arafah bersama Rasulullah, dan pada saat itu aku mendengar Rasulullah bersabda : Wahai manusia, bagi setiap penghuni rumah pada seluruh tahun boleh melakukan sembelihan Udhiyah (kurban) dan Atirah. Tahukah kamu apa itu Atirah ? Atirah adalah sembelihan yang kau namakan dengan Rajabiyyah”.

Imam Syafi’i berkata : Atirah adalah Rajabiyyah, yaitu sembelihan yang dilakukan pada jahiliyyah sebagai bentuk perbuatan baik di bulan Rajab. Maka ketika Rasulullah berkata “tidak ada Atirah” artinya adalah Tidak ada Atirah yang wajib. Kemudian Imam Syafi’i melanjutkan “Dan perkataan Rasulullah : “Sembelihlah olehmu karena Allah pada waktu apapun” artinya sembelihlah jika kamu memang kehendaki dan jadikan sembelihan tersebut karena Allah pada bulan apapun, baik sembelihan itu dilakukan di Bulan Rajab atau bulan lainnya (artinya jangan dikhususkan pada bulan Rajab saja).

Sedangkan hadits “Tidak ada Fara’ dan tidak ada Atirah” dijawab dengan 3 hal:
                      1.      Seperti jawaban Imam Syafi’i bahwa “Tidak ada Fara’, Tidak Ada Atirah” artinya Tidak ada Fara’ yang wajib dan Tidak ada Atirah yang wajib. Artinya hadits tersebut membatalkan kewajiban melakukan fara’ dan Atirah namun tidak mengharamkan keduanya.

                     2.      Atau yang dimaksud dengan nafi dalam hadits adalah menafikan niat dan tujuan sembelihan mereka yang dulunya merupakan sembelihan untuk berhala mereka. Maka niat dan tujuan ini yang dinafikan. Adapun sembelihannya tidak diharamkan dan tidak dinafikan, karena Rasulullah menguatkan dengan hadits “sembelilahlah olehmu karena Allah di waktu apapun”.


                     3.      Atau yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah bahwa sembelihan fara’ dan Atirah itu tidak seperti sembelihan sunnah biasa (Udhiyah). Namun membagikan daging pada kaum faqir miskin dari daging fara’ dan Atirah itu tetap merupakan perbuatan kebaikan serta sedekah yang dianjurkan.

Imam Nawawi berkata dalam kitab al-Majmuk syarh Muhadzzab : Pendapat yang shahih yang kami dapatkan dari Imam Syafi’i dan sesuai dengan konteks hadits adalah bahwa sembelihan Atirah itu tidaklah makruh bahkan hukumnya Sunnah, dan Inilah pendapat mazhab kami (mazhab Syafi’i).

Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa tidak apa-apa melakukan sembelihan yang dinamai dengan Atirah, karena dalil yang berlalu serta mutlaknya sembelihan karena Allah yang dilakukan pada bulan Rajab tidaklah terlarang sama seperti melakukan sembelihan pada bulan-bulan lainnya. Tentunya sesuai dengan persyaratan tersebut diatas seperti melakukan Atirah hanya karena Allah semata, tidak berniat dan bertujuan mengkhususkannya di bulan Rajab, dan lain-lain.

Wallahu a’lam
0 Comments
Tweets
Komentar

Imam Ahmad Membolehkan Baca Al-Qur'an di Kuburan



Alih Bahasa : Zamzami Saleh

Suatu hari aku bersama Imam Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari berada dekat jenazah. Ketika jenazah telah dikuburkan, duduklah seorang laki-laki yang membaca al-qur’an disisi kuburan  tersebut. Imam Ahmad pun berkata pada laki-laki tersebut “Apa yang kamu lakukan ini ? sesungguhnya membaca Al-qur’an disisi kuburan itu bid’ah”.

Ketika kami keluar dari area pekuburan, Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari berkata pada Imam Ahmad bin Hanbal “Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubasysyir Al-Halabi ?”

Imam Ahmad menjawab “Dia seorang yang Tsiqah”

Muhammad bin Qudamah bertanya kembali “Apakah kamu pernah menulis sesuatu darinya ?”

Imam Ahmad kembali menjawab “Ya”

Muhammad bin Qudamah berkata “ Mubasysyir pernah mengkhabarkan padaku dari Abdurrahmab bin ‘Ala’ bin Jalaah dari Ayahnya, bahwa sesungguhnya ia berwasiat jika nanti jenazahnya telah selesai dikuburkan agar dibacakan di dekat posisi kepalanya awal dan akhir dari surat Al-Baqarah “

Muhammad bin Qudamah pun melanjutkan “dan aku mendengar Ibn Umar pernah berwasiat seperti itu”

Imam Ahmad pun berkata padanya “Kembalilah (ke areal pekuburan) dan katakan pada laki-laki tersebut agar ia melanjutkan bacaan al-qur’annya”

***

Kisah terdapat dalam Kitab al-Qiraa’ah ‘alal-qubuur (Membaca Al-Quran di kuburan) karya Imam al-Khallal (w. 311 H), pengkodifikasi pendapat2 Imam Ahmad, yang dicetak bersama kitab al-Amru bil-Ma`ruuf wan-Nahyu ‘anil-Munkar

Yang berminat, sila download disini http://www.waqfeya.com/book.php?bid=5263
1 Comments
Tweets
Komentar

Popular Posts