Oleh : Muhammad Idrus Ramli
Pada
dasarnya, ahli hadits tidak memiliki madzhab tertentu yang menyatukan pemikiran
mereka, baik dalam bidang akidah maupun dalam bidang fiqih. Kitab-kitab tentang
rijal al-hadits dan biografi ahli hadits, menyebutkan dengan gamblang bahwa di
antara ahli hadits ada yang mengikuti aliran Syiah, Khawarij, Murjiah,
Mu'tazilah, Mujassimah, madzhab al-Asyari, al-Maturidi dan aliran-aliran
pemikiran yang lain. Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi menulis data 87 nama-nama
perawi hadits Shahih al-Bukhari dan Muslim yang terindikasi atau terbukti
mengikuti faham Murjiah, Nashibi, Syiah, Qadariyah dan Khawarij, (Lihat:
al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi, juz 1, hlm. 178).
Di
antara mereka ada juga yang mengikuti akidah sayap ekstrim madzhab Hanbali
(ghulat al-hanabilah) yang disebarkan oleh Ibnu Taimiyah dan diklaim sebagai
madzhab salaf dan Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Dari sini, klaim kaum Wahabi bahwa
mereka pengikut ahli hadits, menimbulkan pertanyaan, “Ahli hadits yang mana
yang mereka ikuti?”
Hanya
saja, apabila kita menelusuri literatur sejarah dengan cermat dan mendalam,
maka akan didapati suatu fakta, bahwa dalam bidang akidah, mayoritas ahli
hadits mengikuti madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi. Dalam konteks ini, al-Imam
Abu Manshur al-Baghdadi berkata:
ثُمَّ
بَعْدَهُمْ شَيْخُ النَّظَرِ وَإِمَامُ اْلآَفَاقِ فِي الْجَدَلِ وَالتَّحْقِيْقِ أَبُو
الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ اْلأَشْعَرِيُّ الَّذِيْ صَارَ شَجاً فِيْ حُلُوْقِ
الْقَدَرِيَّةِ .... وَقَدْ مَلأَ الدُّنْيَا كُتُبُهُ، وَمَا رُزِقَ أَحَدٌ مِنَ الْمُتَكَلِّمِيْنَ
مِنَ التَّبَعِ مَا قَدْ رُزِقَ، لِأَنَّ جَمِيْعَ أَهْلِ الْحَدِيْثِ وَكُلَّ مَنْ
لَمْ يَتَمَعْزَلْ مِنْ أَهْلِ الرَّأْيِ عَلىَ مَذْهَبِهِ.
“Pada
generasi berikutnya adalah Guru Besar pemikiran dan pemimpin berbagai daerah
dalam hal perdebatan dan penelitian, Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari
yang telah menjadi kesedihan dalam kerongkongan kaum Qadariyah ... Buku-bukunya
telah memenuhi dunia. Tak seorang pun dari ahli kalam yang memiliki pengikut
sebanyak beliau, karena semua ahli hadits dan semua ahl al-ra’yi yang tidak
mengikuti Mu’tazilah adalah pengikut madzhabnya”. (Al-Baghdadi, Ushul al-Din,
hal. 309-310).
Selanjutnya
al-Imam Tajuddin al-Subki juga berkata:
وَهُوَ
يَعْنِيْ مَذْهَبَ اْلأَشَاعِرَةِ مَذْهَبُ الْمُحَدِّثِيْنَ قَدِيْمًا وَحَدِيْثًا.
“Madzhab
Asya’irah adalah madzhab para ahli hadits dulu dan sekarang”. (Al-Subki,
Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, juz 4, hal. 32.)
Di
antara ahli hadits yang sangat populer mengikuti madzhab al-Asy’ari adalah Ibnu
Hibban, al-Daraquthni, Abu Nu’aim, Abu Dzar al-Harawi, al-Hakim, al-Khaththabi,
al-Khathib al-Baghdadi, al-Baihaqi, Abu Thahir al-Silafi, al-Sam’ani, Ibnu
‘Asakir, al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu al-Shalah, al-Nawawi, Abu Amr al-Dani, Ibnu
Abdil Bar, Ibnu Abi Jamrah, al-Kirmani, al-Mundziri, al-Dimyathi, al-‘Iraqi,
al-Haitsami, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Sakhawi, al-Suyuthi, al-Qathalani,
al-Ubbi, Ali al-Qari dan lain-lain. Kesimpulannya, mayoritas ahli hadits dalam
bidang akidah mengikuti madzhab al-Asy’ari.
Sementara
dalam bidang fiqih, di antara ahli hadits ada yang mengikuti madzhab Hanafi,
Maliki, Syafi’i, Hanbali dan madzhab-madzhab fiqih yang lain. Hanya saja,
apabila kita mengkaji kitab-kitab biografi ahli hadits seperti kitab Tadzkirah
al-Huffazh karya al-Dzahabi, Thabaqat al-Huffazh karya al-Suyuthi dan
lain-lain, akan kita dapati bahwa mayoritas ahli hadits mengikuti madzhab
Syafi’i. Sebagian ulama mengatakan bahwa 80 % ahli hadits mengikuti madzhab
Syafi’i. Al-Imam Syah Waliyullah al-Dahlawi al-Hanafi, seorang ahli hadits dan
pakar fiqih berkebangsaan India, memberikan kesaksian tentang keistimewaan
madzhab Syafi’i dibandingkan dengan madzhab-madzhab fiqih yang lain ditinjau
dari tiga hal:
Pertama)
ditinjau dari aspek sumber daya manusia, madzhab Syafi’i adalah madzhab
terbesar dalam memproduksi mujtahid muthlaq dan mujtahid madzhab, madzhab
terbanyak memiliki pakar ushul fiqih, teologi, tafsir dan syarih (komentator)
hadits.
Kedua)
ditinjau dari segi materi keilmuan, madzhab Syafi’i adalah madzhab yang paling
kokoh dari segi sanad dan periwayatan, paling kuat dalam menjaga keotentikan
teks-teks perkataan imamnya, paling bagus dalam membedakan antara perkataan
Imam Syafi’i (aqwal al-Imam) dengan pandangan murid-muridnya (wujuh al-ashhab),
paling kreatif dalam menghukumi kuat dan tidaknya sebagian pendapat dengan
pendapat yang lain dalam madzhab. Demikian ini akan dimaklumi oleh seseorang
yang meneliti dan mengkaji berbagai madzhab.
Ketiga)
ditinjau dari segi referensi, hadits-hadits dan atsar yang menjadi sumber materi
fiqih madzhab Syafi’i telah terkodifikasi dan tertangani dengan baik. Hal ini
belum pernah terjadi kepada madzhab fiqih yang lain. Di antara materi madzhab
Syafi’i adalah al-Muwaththa’, Shahih al-Bukhari, Muslim, karya-karya Abu Dawud,
al-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Darimi, al-Nasa’i, al-Daraquthni, al-Baihaqi dan
al-Baghawi.
Selanjutnya
al-Imam al-Dahlawi mengakhiri kesaksiannya dengan berkata:
وَإِنَّ
عِلْمَ الْحَدِيْثِ وَقَدْ أَبَى أَنْ يُنَاصِحَ لِمَنْ لَمْ يَتَطَفَّلْ عَلىَ الشَّافِعِيِّ
وَأَصْحَابِهِ رضي الله عنهم وَكُنْ طُفَيْلِيَّهُمْ عَلىَ أَدَبٍ، فَلاَ أَرىَ شَافِعًا
سِوىَ اْلأَدَبِ.
“Sesungguhnya
ilmu hadits benar-benar enggan memberi dengan tulus kepada orang yang tidak
membenalu kepada Imam Syafi’i dan murid-muridnya radhiyallahu ‘anhum. Jadilah
kamu benalu kepada mereka dengan beretika, karena aku tidak melihat penolong
selain etika”. (Waliyullah Ahmad bin Abdurrahim al-Dahlawi, al-Inshaf fi Bayan
Sabab al-Ikhtilaf, hal. 38-39.)
Kesaksian
al-Dahlawi di atas, bahwa madzhab Syafi’i merupakan perintis dan pemimpin umat
Islam dalam ilmu hadits, sangat penting, mengingat otoritas keilmuan al-Dahlawi
sebagai seorang pakar hadits dan fiqih yang bermadzhab Hanafi yang diakui oleh
seluruh ulama, dan beliau bukan pengikut madzhab Syafi’i. Seandainya yang
berkata, seorang pengikut madzhab al-Syafii, mungkin orang lain akan berkata,
bahwa beliau sedang memuji madzhabnya sendiri. Kesaksian tersebut diperkuat
dengan fakta sejarah bahwa pada masa silam, istilah ahli hadits identik dengan
para ulama madzhab Syafi’i. Dalam konteks ini, al-Hafizh al-Sakhawi berkata:
قَالَ
النَّوَوِيُّ رحمه الله، وَنَاهِيْكَ بِهِ دِيَانَةً وَوَرَعًا وَعِلْمًا، فِيْ زَوَائِدِ
الرَّوْضَةِ مِنْ بَابِ الْوَقْفِ: وَالْمُرَادُ بِأَصْحَابِ الْحَدِيْثِ الْفُقَهَاءُ
الشَّافِعِيَّةُ، وَأَصْحَابِ الرَّأْيِ الْفُقَهَاءُ الْحَنَفِيَّةُ اهـ وَمَا أَحَقَّهُمْ
بِالْوَصْفِ بِذَلِكَ.
“Imam
al-Nawawi rahimahullah berkata –betapa hebatnya beliau dalam segi keagamaan,
kewara’an dan keilmuan-, dalam Zawaid al-Raudhah, pada bagian bab waqaf: “Yang
dimaksud engan ahli hadits adalah fuqaha Syafi’iyah, sedangkan ahl al-ra’yi
adalah fuqaha Hanafiyah”. Alangkah berhaknya mereka dikatakan demikian”.
(Al-Hafizh al-Sakhawi, al-Jawahir wa al-Durar fi Tarjamah Syaikh al-Islam Ibn
Hajar, juz 1, hal. 79.).
Di
antara ahli hadits yang mengikuti madzhab Syafi’i adalah al-Bukhari, Muslim,
al-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Isma’ili, al-Daraquthni, Abu Nu’aim,
al-Khathib al-Baghdadi, al-Hakim, al-Khaththabi, al-Baihaqi, al-Silafi, Ibnu
Asakir, al-Sam’ani, Ibnu al-Najjar, Ibnu al-Shalah, al-Nawawi, al-Dimyathi,
al-Mizzi, Ibnu Katsir, al-Subki, Ibnu Sayyidinnas, al-‘Iraqi, al-Haitsami, Ibnu
Hajar al-‘Asqalani, al-Sakhawi, al-Suyuthi dan lain-lain.
Paparan
di atas menyimpulkan, bahwa ahli hadits tidak memiliki paradigma tertentu yang
menyatukan pemikiran mereka dalam satu madzhab, baik dalam bidang fiqih maupun
akidah. Ahli hadits menyebar di berbagai madzhab keislaman, baik dalam fiqih
maupun akidah. Hanya saja, apabila dikaji secara seksama, akan disimpulkan
bahwa mayoritas ahli hadits dalam hal akidah mengikuti madzhab Asy’ari, dan
dalam hal fiqih mengikuti madzhab Syafi’i. Sehingga tidak heran apabila dalam
perjalanan sejarah, ahli hadits identik dengan madzhab Syafi’i.
No comments:
Post a Comment